Source: http://caramembuat524.blogspot.co.id/2014/01/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html simungil: Cerpen Serumit Inikah Cinta body{ user-select: none; -webkit-user-select: none; -moz-user-select: none; -ms-user-select: none; -khtml-user-select: none; }
Vertical Resize - Hello Kitty /* Start http://www.cursors-4u.com */ body, a:hover {cursor: url(http://cur.cursors-4u.net/anime/ani-12/ani1131.ani), url(http://cur.cursors-4u.net/anime/ani-12/ani1131.png), progress !important;} /* End http://www.cursors-4u.com */

Rabu, 16 September 2015

Cerpen Serumit Inikah Cinta

 

Serumit Inikah Cinta


Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 17 September 2015
Sahabat. Sahabat adalah seseorang yang berharga. Seseorang yang selalu ada saat kita sedih maupun bahagia. Sahabat juga seseorang yang selalu setia membuat hari-hari kita menjadi lebih indah, memberi banyak pelajaran, dan tempat berbagi cerita. Ya, itulah makna dari seorang sahabat yang dialami oleh kelima murid dari SMA TRISAKTI.
Rangga, laki-laki berwajah tampan dan pintar ini adalah kapten basket di SMA-nya. Maka tak jarang banyak sekali wanita yang tergila-gila saat menikmati senyum manisnya. Yudha, laki-laki bertubuh atletis blasteran Belanda-Indonesia adalah pemilik dari SMA itu. Kevin, laki-laki yang memiliki selera humor tinggi ini berbakat dalam hal futsal, dan dia terpilih menjadi kapten futsal. Tiwi, wanita cantik yang mahir bermain alat musik. Dan Rahma, wanita yang memiliki lesung pipi ini sangat pandai bernyanyi. Suaranya sangat indah.
Suatu hari, tim basket yang diketuai oleh Rangga Dharma Sanjaya mengikuti perlombaan basket antar SMA sekabupaten Jawa Timur. Rahma, sahabatnya, datang untuk memberikan semangat pada Rangga.
“Semoga berhasil membawa tim basket sekolah kita menjadi pemenang ya, Rangga.” Kata Rahma dengan mata berbinar-binar.
“Gue bakal menangin lomba ini, Rahma. Gue bakal bikin lo bangga, gue janji.”
“Hai, Rangga. Hai, Rahma.” Suara itu membuat Rangga dan Rahma menoleh bersamaan.
“Oh, Lo.” Rahma tersenyum malu. “Lo mau ngapain di sini, Wi?”
“Gue mau ngasih semangat buat Rangga.”
Rahma menghela napas dan memaksakan seulas senyum.
“Terimakasih.” Ucap Ranga. “Gue harus siap-siap dulu, sampai nanti.” Lanjutnya sembari mengusap rambut Rahma dan berjalan pergi.
Selama perlombaan, Rangga selalu berhasil membuat Rahma terkesiap. Rangga berlari lincah menghindari musuh dan memasukkan bola ke dalam ring. Hati Rahma pun berdetak cepat. Beberapa menit berlalu, dan kini perlombaan itu telah usai. Rangga berlari menuju sahabat-sahabatnya sembari memamerkan sebuah piala dan medali.
“Gue udah bikin lo bangga, kan?” Rangga kembali memberikan senyum manisnya pada Rahma.
Rahma mengangguk dan memukul bahu Rangga pelan. “Lo hebat, Rangga. Gue bangga punya sahabat kayak lo!”
“Selamat, Rangga. Lo hebat, hebat banget!” sahut Tiwi yang tiba-tiba saja memeluk Rangga.
Rahma terpaku beberapa saat. Dia menelan ludah dan berusaha menahan diri agar tidak menangis di depan sahabat-sahabatnya. Dia hanya terdiam. Kakinya terasa kaku untuk bergerak. Hatinya terasa sakit melihat Tiwi tak kunjung melepaskan pelukan itu.
“Terima kasih, Tiwi.” Jawab Rangga yang segera menepis pelukan Tiwi.
“Gue.. Ke kamar mandi dulu.” Rahma tersenyum dan berjalan pergi.
“Rahma!” teriak Rangga. “Gue mau nyusulin Rahma. Permisi.”
Rangga berusaha mencari Rahma, tapi dia tidak menemukannya. Dan langkah kakinya terhenti saat kedua bola matanya menatap lurus ke arah punggung seseorang yang dikenalnya. Dia mendekat dan duduk di samping wanita itu.
“Hai, lo bilang mau ke kamar mandi? Kenapa malah diem di sini?”
“Terserah gue. Apapun yang gue lakuin, nggak ada urusannya sama lo.” Jawabnya asal.
Rangga tak bersuara.
“Kenapa masih duduk di sini? Cepet pergi, Tiwi pasti nungguin lo.”
Rangga tersenyum penuh arti. “Jadi, itu alasannya kenapa lo tiba-tiba pergi?” dia tertawa pelan. “Gue pengen nemenin lo di sini. Tiwi pasti nungguin gue, tapi lo pasti butuhin gue.”
Rahma menatap Rangga. Dia sedang kesal seperti itu, bukannya membuat Rahma tenang, justru merayunya.
“Gue minta maaf kalau hal tadi bikin lo kesel.” Ucapnya lagi. “Lo tahu sendiri kalau kita semua sahabat. Dia cuman pengen ngasih gue semangat. Jangan salah paham, Rahma.”
Sejak saat itu, Rahma memiliki perasaan yang lain pada Rangga. Tapi dia malu untuk mengakuinya. Lagi pula, mereka kan sudah bersahabat sejak SMP, Rahma tidak ingin hubungan persahabatannya terganggu dengan perasaan itu.
Hari demi hari telah berlalu. Kini, Rahma dan Tiwi semakin akrab dengan Rangga. Yudha dan Kevin pun merasa terasingkan, karena kedua sahabat wanitanya itu lebih dekat dengan Rangga. Mereka iri dengan Rangga yang selalu mendapat perhatian dari Rahma dan Tiwi.
“Si Rangga sok cari muka banget di depan Rahma dan Tiwi. Sial!” gerutu Yudha sambil melemparkan tasnya.
Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Sedangkan pelajaran di mulai pukul 7.
“Dateng-dateng bukannya ngucapin salam, malah marah-marah begitu. Lagi pula, tumben banget jam segini sudah nongol di kelas? Biasanya telat terus.” komentar Kevin yang sedang asik membaca komik barunya.
“Lagi males di rumah.”
“Ada masalah lagi?” tanya Kevin yang masih tetap membaca komiknya, tanpa melihat ke arah Yudha.
“Ya, lo tahu sendirilah.”
BRAKK!! Kevin yang sedang serius membaca komiknya pun tersentak kaget. Dengan kerasnya, Yudha menonjok pintu ruang kelasnya.
“Lo kenapa sih?” Kevin menghampiri Yudha.
“Gue bosen! Orangtua sibuk kerja, dan mereka nggak pernah peduli sama gue! Kalaupun mereka pulang, kerjaannya cuman berantem!” keluh Yudha. “Sekarang, orang yang gue cintai juga sibuk ngurusin orang lain. Hidup gue ngebosenin!”
“Emangnya siapa orang yang lo cintai? Jangan bilang kalau.. Rahma?”
“Tiwi.” ralat Yudha.
“Tiwi?”
“Ya. Aliya Pratiwi. Gue cinta sama dia dari dulu.”
Kevin menggeleng pelan. “Kenapa lo nggak ungkapin semuanya?”
“Gue nggak pengen persahabatan kita hancur, itu aja.”
“Lo tenang aja, gue bakal bantuin lo.”
Wajah Yudha kembali cerah. “Serius? Lo emang sahabat yang paling baik, Kev.”

“Tiwi, gue mau ngomong sama lo!” kata Kevin saat mereka bertemu di kantin.
“Ngomong soal apa? Tumben banget?”
“Yudha cinta sama lo.” jelas Kevin to the point.
“Nah, terus kenapa? Emang gue harus tahu?”
“Lo mau kan nerima dia?” Kevin balik bertanya.
“Nggak.” jawab Tiwi santai.
“Kenapa?”
“Karena gue udah terlanjur cinta sama Rangga.”
“Tapi gue juga terlanjur cinta sama Rahma. Maaf.” sahut seseorang. Kevin dan Tiwi mencari arah suara itu dan..
“Rangga? Sejak kapan lo di sini?” tanya Tiwi panik.
“Sejak lo bilang kalau lo cinta gue. Maafin gue Wi, tapi gue udah cinta sama Rahma.”
“Tapi.. Gue.. Juga cinta sama.. Lo, Ngga.” jawab Tiwi sambil menahan air matanya.
“Gue cuman nganggep lo sebagai sahabat gue, Wi. Dan lo tahu itu kan? Lagi pula, ada Yudha. Dia cinta sama lo. Lebih baik lo terima dia.”
“Nah, bener apa kata Rangga.” sahut Kevin.
Tiwi tersenyum getir. “Gue juga bahagia kalau lo bahagia. Walaupun gue harus ngerasain apa itu sakit. Itu udah biasa.” Tiwi berlari pergi.
Rahma yang baru saja kembali dari perpustakaan segera menghampiri Tiwi yang terlihat sedang menangis di bangkunya. “Wi, lo kenapa?”
Tiwi tetap diam.
“Wi, lo nggak apa-apa kan? Cerita dong sama gue.”
Tiba-tiba, Tiwi mengangkat wajahnya dan segera berdiri. “Gue lagi nggak pengen diganggu, jadi lebih baik lo pergi!” bentaknya.
“Kok lo tiba-tiba marah gini sih? Gue salah apa?”
“Apa peduli lo!”
“Wi, kita kan sahabat, jelas aja gue peduli. Sekarang lo bilang sama gue, siapa yang udah bikin lo kayak gini? Gue nggak rela ada orang yang bikin sahabat gue sedih gini.”
“Termasuk Rangga?” tanya Tiwi dengan nada sinis.
“Rangga? Maksud lo?”
“Iya, dia yang udah bikin gue kayak gini! Dia cinta sama lo dan cuman nganggep gue sebagai sahabat. Puas lo?”
Rahma terpaku beberapa saat. Rangga cinta sama gue? “Dia pasti salah.”
“Lo udah tahu, dan sekarang lo pergi dari sini!” bentak Tiwi lagi. Rahma mengangguk dan meninggalkan Tiwi sendiri.

“Gue mau ngomong sama lo! Penting.” kata Yudha ketus.
“Soal apa?”
“Tiwi cinta sama lo.”
“Gue tahu.” Rangga mengalihkan pandangannya.
Yudha tak menjawab. Dia terus menatap papan tulis.
“Jadi, ini yang lo bilang penting? Yudha… Yudha. Gue tahu, lo cinta sama Tiwi. Itu alasannya kenapa gue nggak mau Tiwi cinta sama gue. Dan asal lo tahu, gue udah cinta sama Rahma. Udahlah, gue males berantem gara-gara hal ini.” Rangga berdiri dan hendak ke luar kelas.
“Tapi dia bener-bener cinta sama lo!”
“Udah gue bilang kan? Gue cinta sama Rahma.”
“Kalau lo emang nganggep gue sebagai sahabat, gue pengen lo lakuin satu hal.”
Rangga menghela napas dan menatap Yudha.
“Apa?”
“Terima Tiwi. Gue pengen dia bahagia.”
“Yud, gue harus bilang berapa kali sama lo? Gue cinta sama Rahma, jadi gue nggak mungkin nerima Tiwi. Gue nggak mau nyakitin hati Rahma.”
“Tapi, dia cinta sama lo, Ngga. Gue mohon.” pinta Yudha.
“Terus lo sama Rahma gimana? Lo jangan egois dong, Yud. Rahma pasti kecewa banget sama gue.”
“Percaya sama gue, Ngga. Gue bakal bahagia kalau lihat orang yang gue cintai bahagia, begitu pun Rahma. Cinta nggak harus memiliki.”
Rangga menghela napas kesal. Pilihan yang sulit. Tapi, bukankah sahabat lebih penting?
“Demi persahabatan kita.” jawab Rangga sambil berjalan pergi.
Semenjak Tiwi tahu perasaan Rangga pada Rahma, Tiwi mulai menjauhi Rahma. Walaupun akhir-akhir ini, Rangga sudah berusaha menjauh dari Rahma. Sebenarnya, Rangga tidak ingin melakukan semua itu. Tapi dia tidak memiliki pilihan lain. Rahma wanita yang kuat, dia pasti tahu kalau semua ini demi persahabatan kami.
“Tiwi.” panggil Rangga ragu.
“Apa?” tanya Tiwi dengan nada dingin.
“Gue mau ngomong sesuatu. Ikut gue.”
Tiwi menurut saja saat Rangga mengajaknya ke taman sekolah.
“Tunggu di sini.” ucap Rangga mencoba tersenyum ramah pada Tiwi. Rangga pergi mencari sekuntum mawar yang sedang merekah di taman. “Buat lo.”
“Eh? Kok lo ngasih bunga ke gue?”
“Bunga ini gue kasih sebagai tanda cinta gue ke lo.” Rangga tersenyum. “Lo mau kan jadi pacar gue? Gue minta maaf soal beberapa minggu yang lalu. Gue udah bikin lo sakit hati ya? Maafin gue, Wi.”
Alis Tiwi terangkat. “Lo lagi ngelindur? Lo nggak apa-apa?”
“Gue sadar, seribu persen gue sadar.”
“Kok tiba-tiba gini? Lo kan..”
“Gue nggak suka sama Rahma lagi.” sahut Rangga. “Gue baru sadar, dia nggak sebaik lo.”
“Tapi, Rahma gimana? Gue tahu, dia juga cinta sama lo. Gimana pun juga, dia sahabat gue.”
“Gue udah.. Nggak cinta sama dia lagi.” suasana kembali hening. “Lo mau kan?”
Kedua sudut bibir Tiwi terangkat. “Lo serius, Ngga? Gue mau! Mau banget.”
Rangga ikut tersenyum dan mengusap rambut Tiwi lembut. Saat itu juga, Rahma terjatuh. Kakinya terasa kaku. Kekuatannya mendadak hilang. Dan air matanya tak terbendung. Tiwi dan Rangga menoleh ke arah Rahma yang sejak tadi sembunyi di balik pohon.
“Ma, lo nggak papa?” tanya Rangga. Masih saja tersirat kekhawatiran di nada suaranya.
“Selamat.” Rahma berdiri tanpa menerima uluran tangan Rangga. “Maaf, gue nggak sengaja lewat sini.”
“Lo yakin?” Rangga masih menatap Rahma lekat. Tapi Tiwi tak bersuara.
“Gue ikut seneng karena sekarang kalian udah resmi pacaran.”
“Lo denger semuanya?”
“Semua, tanpa terkecuali.” Rahma tersenyum, menahan sakit. “Sekali lagi, selamat.”

Rahma tidak ingin ke luar dari kamarnya. Setelah pulang sekolah, dia terus mengurung diri di kamar. Yang dia lakukan hanya menangis dan menangis. Sungguh, dia masih belum rela jika kedua sahabatnya itu berpacaran. Terlebih lagi, Rangga berkata bahwa dia tidak sebaik Tiwi. Dan Rangga sudah tidak mencintai Rahma. Ya, dia harus menerima semua itu dengan lapang dada.
“Kenapa gue sedih gini? Seharusnya gue seneng karena sekarang sahabat yang gue sayang udah bahagia. Jadi, buat apa gue nangis? Toh Rangga juga udah nggak cinta sama gue, percuma aja gue berharap. Itu semua cuman bikin gue lebih sakit.”
Tiba-tiba, Rahma melihat sekelilingnya. Dan tatapan matanya tertuju pada sebilah pisau yang terletak di atas meja, pisau yang dia gunakan untuk mengupas apel. Awalnya, Rahma hanya memutar-mutar pisau itu, tapi ternyata, dia nekat menggoreskan pisau itu di nadinya. Dan tak beberapa lama kemudian, dia terjatuh. Sejak kejadian malam itu, Rahma dirawat di rumah sakit. Dia koma selama beberapa minggu. Dan tentu saja hal itu membuat keempat sahabatnya khawatir. Tapi sepertinya, Rangga lebih khawatir. Karena diam-diam, dia selalu datang untuk menjenguk Rahma tanpa sepengetahuan Tiwi. Alasannya sudah pasti, dia tidak ingin menyakiti Tiwi, setelah dia sudah menyakiti Rahma.
“Rahma, lo udah sadar?” sahabat-sahabatnya mulai mendekat. Tak terkecuali, Tiwi.
Rahma mengangguk pelan dan tersenyum. Tapi senyum itu terhalang oleh selang oksigen.
“Lo gila ya?” tanya Rangga. Jujur, dia sangat khawatir, tapi dia juga tidak bisa meyembunyikan rasa kesalnya pada Rahma. Dia bodoh sekali sudah melakukan hal kekanak-kanakan ini. “Apa sih yang ada di pikiran lo? Ngapain lo lakuin semua ini? Lo cuman bikin kita semua dan keluarga lo khawatir, Ma! Lo sadar nggak sih?”
Rahma menatap Rangga dalam. Air matanya kembali menangis. Bukan itu yang dia harapkan. Bukan cacian dari Rangga yang dia inginkan saat membuka mata. Dia mau, Rangga peduli. Tapi sekarang dia benar-benar tahu, Rangga telah mencintai Tiwi. Bukan dririnya lagi.
“Lo yang gila!” sahut Kevin. “Rahma baru aja sadar, lo nggak punya perasaan banget bentak-bentak dia kayak gitu!”
“Udah deh, kenapa kalian tengkar gini sih?” Tiwi bersuara. “Kalian nggak lihat apa, Rahma lagi sakit? Dia butuh support dari kita, bukan adegan kalian tengkar.” Tiwi kembali menatap Rahma.
“Ma, lo baik-baik aja kan? Lain kali, lo jangan lakuin hal bodoh ini lagi, Ma. Gue nggak mau kehilangan sahabat gue yang cantik kayak lo. Ntar, siapa yang bakal nemenin gue ke salon selain lo dan..” Tiwi melirik Kevin.
“Ya, walaupun Kevin suka pergi ke salon, tetep aja gue nggak mau kalau harus ke salon bareng dia.”
Rahma tersenyum dan berusaha berbicara walaupun dengan susah payah. “Lo.. Udah nggak marah lagi ya.. Sama gue?”
Tiwi menggeleng cepat. “Lo sahabat gue, mana mungkin gue marah? Soal waktu itu, gue minta maaf. Lo tahu sendiri kan, gue kalau lagi emosi emang nakutin.” Tiwi tertawa pelan.
“Tumben lo nyadar?” tanya Yudha. “Dasar singa!”
“Gue nggak ngomong sama lo!”
“Udah ah, lo berisik banget.” Kevin mendekat dan mengusap rambut Rahma. “Sahabat gue nggak pernah bodoh. Gue tahu jelas kenapa lo lakuin semua ini, Ma. Lo jangan khawatir, gue selalu ada buat lo. Gue bakal jadi pacar lo, kalau hal itu bisa bikin lo bahagia.”
“Eh, nggak-nggak!” sela Tiwi. “Itu sih mau lo. Nggak, gue nggak setuju sahabat gue pacaran sama cowok buluk kayak lo.” Tiwi memukul Kevin pelan. “Sebenernya, ada hal yang pengen gue omongin juga.”
“Tentang.. Apa?” tanya Rahma.
“Kita. Lo, gue, dan Rangga.” Tiwi menatap Rangga sekilas dan kembali menatap Rahma. “Gue tahu, gue salah besar selama ini. Nggak seharusnya gue cinta sama Rangga, karena sahabat gue juga cinta sama dia. Gue minta maaf, Ma. Gue tahu, ini semua nggak mudah buat lo. Lo pasti terluka banget, tapi lo masih sempet ngucapin selamat ke gue. Gue tahu, gue emang bukan sahabat yang baik, gue egois. Tapi, belum terlambat kan kalau gue tobat?”
Rahma tak berkomentar. Dia tidak mengerti arah pembicaraan Tiwi. Tiwi meraih tangan Rangga dan diletakkan di atas tangan Rahma. Rahma kembali bingung, tapi tidak menolak.
“Sekarang, saatnya lo bahagia. Jadi pacar Rangga selama dua minggu aja udah bikin gue seneng. Ternyata, cowok kayak Rangga bisa romantis juga ya?” Tiwi menyenggol lengan Rangga. “Gue tahu, Rangga masih cinta sama lo. Gue tahu banget. Maka dari itu, gue pengen kalian pacaran.”
“Wi, lo..”
“Ngga, ini kan mau lo?” sahut Tiwi. “Gue nggak apa-apa. Lebih baik gue milih cowok yang cinta sama gue tulus. Kayak..” Tiwi mendekat dan berdiri di samping Yudha. “Lo, misalnya.”
“Lo bercanda.”
“Gue serius. Gue sadar, kalau gue jadian sama Rangga, lo dan Rahma pasti terluka. Sedangkan kalau gue jadian sama lo, dan Rangga jadian sama Rahma, nggak bakal ada yang terluka. Pilihan kedua jauh lebih baik, kan?”
Rahma tersenyum cerah. “Wi, lo sahabat yang baik. Anggap semuanya nggak pernah terjadi, ya? Kita mulai semua dari awal.”
“Iya. Gue nggak mau pisah sama kalian! Gue sayang kalian!”
“Kalian tega banget sama gue? Jadi kesimpulannya, gue jomblo sendiri dong?” tanya Kevin.
“ITU SIH DERITA LO!” jawab Rangga, Tiwi, dan Yudha bersamaan sambil tertawa.
Kevin manyun. Dia menatap Rahma dan tersenyum lega.
“Ma, gue ikut seneng kalau sekarang lo udah bahagia sama Rangga. Gue rela, asal lo bahagia. Gue rela ngelepas semua rasa cinta gue. Selamat berbahagia.”
Cerpen Karangan: Anadya Alyasavitri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar