Aku, Sahabatku, Dan Cita - Cita Kita
Saat ditanya tentang cita-cita, tidak setiap orang mampu menjawab dengan yakin. Mungkin kebanyakan dari mereka, menjawab dengan terpaksa. Karena tak mau dibilang manusia tak bercita-cita. Dari sejak kecil, aku bingung kalau ditanya soal ini. Apa cita-citaku?
Belum ada jawaban yang pasti, bahkan sampai ketika aku sudah menginjakkan kakiku di bangku SMA.
Berbeda dengan Ujang. Sahabat karibku sejak kelas satu SMP itu, selalu menjawab dengan mantap kalau ditanya soal cita-cita.
“Aku ingin menjadi dokter!” Jawabnya ketika bu Liza, guru bahasa Indonesia dulu waktu kami masih SMP kelas satu.
Aku tak pernah menganggap ia serius dengan kata-katanya. Meski ia meyakinkanku berpuluh bahkan beratuskali, aku tetap tak yakin.
“Aku beneran mau jadi dokter, Yanto!”
“Ha ha ha… iya iya, aku percaya. Percaya kalau itu hanya mimpi!”
“Yanto! Kau ini jadi sahabat tapi malah seneng banget ngeledek! Kata almarhum Bapak, kalau punya mimpi itu harus. Dan kita harus yakin mampu meraihnya!”
“Iyo iyo. Tapi kita juga harus kira-kira lah. Kamu tau ndak, biaya kuliah kedokteran itu, muahaaalnya minta ampun. Si Ade, anaknya pa Haji Ahmad, orang yang paling kaya di kampung kita sekalipun, juga tak mampu kuliah kedokteran.”
“Oalah, terus kamu mau bilang, apalagi aku? Yang cuman anak yatim dari seorang ibu tukang cuci di rumah haji Ahmad gitu?”
Aku tak tega melihat dia manyun.
“Nggak gitu juga, Jang. Eh, dr. Ujang! Ha ha ha. Lucu! Kayaknya kalau jadi, bakalan jadi satu-satunya dokter yang punya nama unik. dr. Ujang! Ha ha ha.” Aku kembali meledeknya. Seneng rasanya bisa menertawai si Ujang. Sahabatku yang luar biasa itu.
Ujang memang sahabat yang amazing! Dalam segala keterbatasannya, dia mampu menantang dunia dengan mimpinya ingin menjadi dokter.
Aku sebenarnya mendukung cita-cita sahabatku itu. Tapi, sekuat apapun dukunganku, tak akan benar-benar bisa membantunya. Makanya, aku hanya selalu menjadikan tema cita-citanya penuh dengan guyonan. Biar tatkala tak tercapai, tidak membuat sahabatku itu down.
Kalau saja Ujang dari keluarga mampu, aku sangat yakin ia akan dengan mudah meraih cita-citanya itu. Karena ia anak yang pintar dan juga sangat rajin.
Tak pernah sekali pun aku melihat dia tidak masuk sekolah. Meskipun sakit, ia tetap masuk sekolah.
“Kamu kan sakit, Jang. Kenapa pula tetep sekolah? Tak sekolah satu hari, tak akan membuatmu ketinggalan, apalagi tidak naik kelas! Kamu bisa pinjam catatanku kan!”
“Oh tidak tidak! Selagi aku mampu berjalan kaki ke sekolah, selagi aku mampu bergerak bebas, aku akan tetap berangkat sekolah. Cuman sakit flu, batuk dan demam ringan gini, gak masalah!”
“Yo wis, up to you aja lah! Kamu memang merekedeweng (keras kepala)!”
“Kata almarhum bapakku, kita harus gigih dalam berjuang. Tak mengenal letih, apalagi menyerah! Sakit ringan adalah bagian dari ujian. Apakah aku tetap gigih dalam berjuang, atau menyerah.”
Mulai deh! Ujang ditinggalkan oleh bapakknya ketika dia masih kelas lima SD. Tapi, entah berapa banyak wejangan ayahnya yang telah melekat dalam memori sahabatku itu.
“Jang! Kamu berniat mengganti cita-citamu gak? Kalau iya, aku mau ngajak kamu, supaya kita menyamakan cita-cita! Jadi nanti kita bisa kerja sama untuk meraihnya!” Kataku suatu ketika.
Ujang memelototiku, sebelum berkata dengan nada tegas.
“Kamu fikir cita-cita itu main-main! Kalau aku bilang aku mau jadi dokter, ya sudah! Kamu kok nggak pernah suka. Kamu fikir, kelakuanmu itu tak menyakiti perasaanku apa? Sahabat kok kayak gitu!!!”
“Lho, Jang! Kamu jangan marah gitu dong. Aku cuman mau mengajak kamu untuk lebih bisa melihat realita! Dan kebetulan aku sudah mulai menemukan cita-citaku! Setelah selama ini aku kebingungan. Nah, karena kamu sahabat aku, aku ingin kita bisa selalu bersama. Jadi aku mengajakmu menyamakan cita-cita kita. Eeeh, kamunya malah marah. Dongkol aku jadinya!”
“Kamu kalau sudah punya cita-cita, ya syukur! Tapi tak usah ajak-ajak aku. Kamu berjuanglah sendiri seperti aku juga berjuang sendiri. Ngomong-ngomong cita-citamu apa, To?” Dengan tampang yang polos, dia bertanya sambil menatapku.
Ha, dia penasaran juga rupanya.
“Rahasia ah! Habisnya kamunya kayak gitu.”
“Lho lho! Kayak gitu gimana? Salahkah aku untuk mempertahankan apa yang menjadi cita-citaku? Yanto! Kata almarhum ayahku, kita harus memegang cita-cita kita dengan erat dan yakin kita bisa mencapainya. Kalau tidak, maka arah hidup kita tak akan jelas. Tak peduli seberapa berat dan seberapa terjal jalan yang harus kita lalui untuk menggapainya.
Kamu juga! Aku dukung cita-citamu apapun itu selagi positif. Berjuanglah! Meski aku tak ada di jalan yang sama, tapi aku selalu mendukungmu!!!”
“Okey okey dr. Ujang! Thank alot for your motivation!” Ucapku menutup sesi ceramahnya.
Dan begitulah kami dalam menjalin teman. Hampir bisa dibilang, setiap kali bercakap dengannya, selalu ada hal yang bisa aku dapat. Lebih tepatnya, si Ujang yang selalu kuledek itu adalah sahabat sekaligus mentor hidup aku.
Aku beruntung punya sahabat seperti dia. Dia menunjukkan padaku, tak harus banyak uang untuk bisa pintar. Karena dulu aku selalu berkilah, ya pantes aja si Ade suka juara kelas, fasilitas buat belajarnya juga banyak banget.
Tapi si Ujang, hanya bermodalkan pulpen dan buku tulis, dia mampu menjadi juara, bahkan mengalahkan Ade. Ade juara waktu SMP karena beda sekolah sama Ujang.
Ujang bisa seperti itu karena ia selalu mencatat sekecil apapun yang dijelaskan oleh guru.
Ia juga selalu meminjam buku dari perpustakaan untuk kemudian dibaca, disalin apa yang penting dan susah diingat. Ia belajar tak tau tempat. Sampai-sampai aku terkadang muak juga dengan kelakuannya itu.
“Ngapain kamu balik lagi, Jang?” Tanyaku saat dia kembali ke kelas, padahal ia sudah tak tahan ingin ke kamar mandi.
“Aku lupa bawa buku catatan!”
Iji gile!
“Tak bawa sekali tak membuatmu dapat nilai nol, kawan! Awas lho kalu sampai … disini!” Kataku sambil melihat dia dengan terburu-buru mengambil buku catatannya.
Dia tak membalas ucapanku dan langsung kabur lagi ke kamar mandi.
Setelah dari kamar mandi, dia langsung menghardikku.
“Hai Yanto! Kamu tau, berapa lama aku habiskan waktuku di kamar mandi?”
Aku menggeleng.
“Sepuluh menit mungkin!”
“Kamu salah! Hampir lima belas menit! Nah, kalau aku tak membawa buku catatan, maka apa yang aku lakukan dalam waktu yang sebanyak itu? Diam saja menikmati pemandangan yang membosankan? Tidak tidak! Aku tak biasa seperti itu. Dan kamu harus tau rahasia ini. Bahwa belajar disana itu, lebih mudah diingat dari pada di tempat lain. He he.” Hiiiy dasar Ujang.
Dan satu hal lagi yang menarik dari diri sahabatku itu. Ia tak pernah terlihat punya keinginan untuk pacaran. Alasannya sih klise. Ingin fokus belajar. Berjuang meraih cita-cita dengan serius.
“Buat apa sih pacaran? Buang-buang waktu dan energi saja.”
“Kalau dengan pacaran jadi nambah semangat dalam belajar gimana?” Kataku.
“Ngawur itu! Lah emang kita berprestasi karena orang lain? Gimana kalau di tengah jalan putus? Apakah semangat kita juga akan tetap sama? Bukankah akan putus seiring putusnya penyemangat kita? Makanya, cari penyemangat yang abadi!”
Aku kalah lagi! Jago kamu Jang!
Sampai kelulusan, aku melihat Ujang selalu jadi juara. Ia pun masih tetap memegang impiannya jadi seorang dokter.
Sedangkan aku, cita-citaku sederhana saja, menjadi guru PNS. Ya! Seperti cita-cita kebanyakan orang. Tapi tak apa, meski sainganku banyak, tapi setidaknya aku punya satu cita-cita, yang jalannya mudah aku lalui, walau untuk sampai kesana juga tak tau pasti kapan.
Aku ngambil kuliah fakultas pendidikan di sebuah perguruan tinggi swasta di kotaku. Sedangkan Ujang, sejauh ini yang kuketahui, dia sibuk kesana kemari untuk mencari beasiswa kedokteran. Ya! Karena keterbatasan ekonomi, dia akhirnya memilih jalur beasiswa.
Tapi tak seperti yang dibayangkannya.
“Ternyata, susah sekali ya menemukan beasiswa kedokteran, To!” Curhatnya saat berkunjung ke rumahku.
“Ya iya! Orang biayanya melangit. Rugi juga mereka kalau membuka beasiswa kedokteran.”
Tapi, aku tak melihat ia putus semangat.
Sampai saat ini, ketika aku sudah semester 4, aku tak mendapati kabar lagi dari Ujang. Dia lenyap entah kemana. Nomor handphonennya juga sudah tak bisa dihubungi.
Aku datang ke rumahnya juga tak ada batang hidungnya. Ibunya juga tak nyerita banyak. Hanya bilang, kalau Ujang ada urusan penting di luar kota.
Biarlah, mungkin suatu saat dia akan kembali.
Benar saja. Siang itu, tatkala matahari sedang begitu terik memanasi bumi, Ujang datang ke kampusku, ia tersenyum simpul dari kejauhan. Aku hanya membalas senyumannya sambil terburu-buru menghampirinya.
“dr. Ujang! Kemana saja kau?”
“Ha ha ha. Ada yang kangen rupanya!”
“Idiiih, emangnya kamu sendiri tak ngangenin sahabatmu yang baik ini apa?” Kataku membalasnya.
“Iya iya, kangeeen banget. Hua ha ha ha.”
“Ah, kamu! Ketawa aja. Jawab pertanyaan aku! Kemana aja? Lama banget gak nongol di bumi ini?”
“Woi!!! Aku selama ini nggak nongol, bukan berarti aku nggak ada di bumi! Ya sudah nggak penting dibahas. Aku sibuk kuliah, bro!” Kuliah?
“Awalnya aku tak terima, aku hampir putus harapan mencari beasiswa kedokteran yang tak kunjung membuahkan hasil. Akhirnya aku mendaftar beasiswa lain. Dan dengan begitu mudahnya aku keterima.” Dia tak melanjutkan ceritanya.
“Terus kamu kuliah apa? Dimana, Jang?”
“Tuh kan, penasaran! Aku keterima kuliah di…” ujang menahan kalimatnya. Dasar Ujang! Bikin penasaran aja.
Dia mengeluarkan jas dari tasnya, menunjukkan logo yang menempel pada jasnya itu. Dan gambar itu telah berhasil menyulapku menjadi manusia cengeng dalam seketika. Betapa tidak terharu, gambar itu bertuliskan, ‘Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia’.
Ujang bercerita padaku tentang banyak hal. Namun, fikiranku yang masih tidak percaya, tenggelam pada bayang-bayang masa lalu, masa dimana aku selalu mengejek cita-citanya, masa dimana dia berjuang jungkir balik untuk bisa meraihnya, dan sekarang ia telah memamerkan hasilnya padaku, maka cairan bening pun tak dapat kutahan lagi, tik tik tik…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar